Minggu, 27 Februari 2011

Perkembangan Kebudayaan Masa Penjajahan Jepang


1. Perkembangan Bahasa
Pada masa pendudukan Jepang Indonesia tertutup ke dunia luar maupun ke dalam wilayah Indonesia, sehingga pada masa itu Indonesia sangat terisolasi dari hubungan dengan dunia luar dan dapat dikatakan, bahwa seluruh komunikasi dikendalikan oleh pemerintah. Demikian juga komunikasi di dalam Indonesia sendiri tertutup, misalnya antarpulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan lain-lain. Maka untuk menyebarluaskan pemakaian bahasa Indonesia dilakukan melalui surat kabar-surat kabar dan radio. Pada masa pendudukan Jepang bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat akibat kebijakan Jepang pada masa itu, diantaranya adalah :
a. Pelarangan penggunaan bahasa Belanda dari dunia perguruan tinggi maupun sekolah- sekolah, maupun perkantoran dan dari pergaulan seharihari memberikan kesempatan yang baik bagi pemakaian dan pengembangan bahasa Indonesia.
b. Pelarangan bagi orang Belanda memakai bahasanya sendiri. Yang melanggar dapat dituduh membantu musuh (Belanda, Amerika Serikat dan Inggris). Seperti diketahui, pada masa penjajahan Belanda, bahasa Belanda menjadi bahasa resmi di bidang pemerintahan. Larangan pemakaian bahasa Belanda yang dilakukan oleh pemerintah Jepang sangat keras, sehingga boleh dikatakan di semua toko, rumah makan, perusahaan, perkumpulan dan lain-lainnya papan nama atau papan iklan yang Berbahasa Belanda diganti dengan yang berbahasa Indonesia atau berbahasa Jepang.
c. Film atau gambar-gambar yang memakai bahasa Belanda dilarang beredar. Sedangkan mengenai penggunaan bahasa Jepang boleh digunakan dimana saja baik di sekolah-sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari, hal ini sangat berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, dimana bahasa Belanda hanya diberikan pada sekolah-sekolah tertentu dan tidak semua orang Indonesia diizinkan memakai bahasa Belanda terhadap orang Belanda. Bahkan pemerintah pendudukan Jepang melakukan langkah-langkah untuk pemakaian bahasa Jepang untuk menggantikan bahasa Belanda diantaranya :
a. Semua sekolah yang dibuka kembali oleh Jepang, diberi mata pelajaran bahasa Jepang.
b. Terdapat sekolah-sekolah khusus untuk pengajaran bahasa Jepang.
c. Pelajaran bahasa Jepang juga disiarkan melalui radio-radio pemerintah pendudukan Jepang.
d. Jepang juga menerbitkan Kana Jawa Shinbun, yang memakai bahasa Jepang dengan mempergunakan huruf katakana. Disebutkan bahwa tujuan utama daripada surat kabar itu adalah untuk menyebarluaskan bahasa Jepang dan meningkatkan pengetahuan membaca dan menulis bagi rakyat Jawa.
e. Jepang mendatangkan beratus-ratus orang guru bahasa Jepang ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia, untuk mengajar ke Jepang. Sebaliknya orang Jepang mempelajari bahasa Indonesia secukupnya untuk berkomunikasi langsung dengan orang Indonesia, dan dengan pengetahuan bahasa yang minim itu, mereka dapat menjelajah sampai ke pelosok-pelosok Indonesia.
Bahasa Indonesia maju dengan amat pesat karena diharuskan dipakai di sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan dalam pergaulan sehari-hari. Perkembangan bahasa Indonesia ketika itu boleh dikatakan dipaksakan, agar dalam waktu secepat-cepatnya menjadi alat komunikasi yang dapat digunakan ke seluruh pelosok untuk semua bidang. Pemerintah pendudukan Jepang bermaksud untuk mengerahkan seluruh tenaga bangsa Indonesia guna Perang Asia Timur Raya sampai dari desa-desa yang jauh terpencil sekalipun, mereka merasa perlu menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia akhirnya meluas penggunaannya ke segala penjuru Nusantara, sedangkan semakin banyak orang Indonesia mengalami suatu perasaan yang selama ini belum dikenalnya dengan mendalam yaitu perasaan nasionalisme melalui penggunaan bahasa Indonesia. Bertambah lama jalannya perang, bertambah banyak orang Indonesia memakai bahasa Indonesia, maka bertambah kuat pulalah terasa hubungan antara sesamanya. Bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi serta wahana integrasi bangsa Indonesia.
Akhirnya penguasa Jepang tak dapat lagi menahan pertumbuhan bahasa Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang terpaksa mengabulkan keinginan bangsa Indonesia untuk menyempurnakan bahasa demi pelaksanaan Sumpah Pemuda 1928. Maka pada tanggal 20 Oktober 1943, Kantor Pengajaran Jepang di Jawa, atas desakan dari beberapa tokoh Indonesia mendirikan Komisi (Penyempurnaan) Bahasa Indonesia. Tugas dari komisi itu adalah menentukan terminologi, yaitu istilah-istilah modern, serta menyusun suatu tata bahas normatif
dan menentukan kata-kata yang umum bagi bangsa Indonesia. Adapun susunan anggota Komisi Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Ketua : Mori (Kepala Kantor Pengajaran)
b. Wakil Ketua : Iciki
c. Penulis : Mr. R. Suwandi
d. Penulis Ahli : Mr. S. Takdir. AliSjahbana
e. Anggota : Abas St, Pamuntjak, Mr. Amir Sjarifuddin, Armijn Pane, dr. Aulia, Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Drs. Moh. Hatta, S. Mangunsarkoro, Dr. R. Ng. Purbatjaraka R.P. Prawiradinata, Dr. Prijono, H. Agus Salim, Sanusi Pane, Ir. Sukarno, Mr. R.M. Sumanang dan lain-lain.
Pemerintah Pendudukan Jepang terpaksa memenuhi keinginan bangsa Indonesia untuk mengembangkan dan menyempurnakan bahasa Indonesia. Pemerintah Jepang sesungguhnya merasa enggan untuk melaksanakan keinginan bangsa Indonesia untuk menyempurnakan bahasa Indonesia tetapi karena desakan yang terus-menerus, maka Pemerintah Pendudukan Jepang tidak dapat menolak keinginan tersebut. Untuk mengabulkan keinginan bangsa Indonesia Pemerintah pendudukan Jepang dengan terpaksa melakukan tindakantindakan sebagai berikut :
a. Membuka Kantor Komisi Bahasa Indonesia dengan peralatan dan staf yang serba kurang.
b. Penundaan penetapan nama bahasa Indonesia, baru setelah Jepang mengalami kekalahan-kekalahan dalam perangnya dengan Sekutu bahkan sudah hampir menyerah barulah mereka mengizinkan pemakaian nama “Bahasa Indonesia”.
c. Kantor pengajaran Jepang itu tidak pernah menyampaikan kata-kata yang sudah diputuskan kepada sekolah-sekolah dan kantor-kantor, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Keputusan-keputusan yang telah diambil oleh Komisi Bahasa Indonesia tidak pernah diumumkan. Akan tetapi berkat ketekunan dari para anggota komisi, maka pada akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia telah dapat kira-kira 7.000 istilah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 36, ditetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Hal itu sesungguhnya merupakan formalisasi daripada sesuau yang telah menjadi kenyataan, yakni penggunaan bahasa Indonesia dalam percaturan umum.
2. Perkembangan sastra
Pada masa pendudukan Jepang sifat sastra sangat berbeda dengan sifat sastra di masa damai. Sastra pada umumnya berisi:
a. Crita dan sajak-sajak di tengah-tengah suatu perang yang dahsyat,
b. Mengandung usaha menimbulkan semangat serta menyebarkan patriotisme atau menganjurkan semangat bekerja,
c. Para pujangga tua meminta pada pujangga muda supaya menginsafi arti karya mereka bagi masyarakat, sehingga dapat memberikan kepada masyarakat suatu pegangan hidup.
d. Menjauhkan hasil sastra yang menimbulkan keragu-raguan dan kebimbangan, sehingga tidak meracuni masyarakat.
e. Membangkitkan jiwa nasionalisme Indonesia dengan mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia itu sejajar dengan nasionalisme Asia.
Jiwa muda yang tadinya sedia menerima pikiran-pikiran cita-cita yang kelihatannya bagus dan indah, untuk beberapa lama hanyut dalam kekaguman semboyan-semboyan “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” dan sebagainya, yang ternyata hanya merupakan balon-balon yang indah berisi angin. Pemerintah pendudukan Jepang menganjurkan karya sastra harus ditujukan ke arah usaha memenangkan “Perang Asia Tmur Raya”. Sehingga dalam publikasi pemerintah ditampilkan karya-karya sastra pengganti pengaruh Barat. Dalam situasi yang demikian itu lahir juga karya-karya sastra yang bersemangat sesuai dengan cita-cita perjuangan rakyat Indonesia. Langkah pemerintah pendudukan Jepang untuk mengarahkan agar supaya karya-karya seniman (seperti roman, sajak, lagu, lukisan, sandiwara dan film) itu jangan menyimpang dari tujuan Jepang adalah :
a. Didirikan sebuah Pusat Kebudayaan pada tanggal 1 April 2603 (1943) di Jakarta yang diberi nama bahasa Jepang, Keimin Bunka Shidosho.
b. Penyiaran hasil karya Pujangga Baru, begitu mereka tiba di Indonesia, segera dihentikan oleh pihak Jepang.
c. Di dalam Keimin Bunka Shidosho sastrawan dapat diawasi kegiatankegiatan mereka oleh Jepang, karena baik Keimin Bunda Shidosho maupun Jawa Shinbunkai tidak mengizinkan para pengarang atau sastrawan mengeluarkan isi hatinya dalam bentuk karangan atau cerita kecuali bila mendukung politik pemerintah pendudukan Jepang. Seorang sarjana Belanda mengatakan tentang berdirinya Keimin Bunka Shidosho itu demikian : “Badan Pusat Kebudayaan ini membuktikan betapa sempurnanya Jepang dalam usahanya untuk menghapuskan kemungkinan-kemungkinan bagi tiap pernyataan berterang-terang perihal kebudayaan”.
Dalam penjelasannya pada waktu peresmian berdirinya Keimin Bunka Shidosho disebutkan bahwa badan ini bertugas memimpin dan menilik budaya umum untuk meningkatkan derajat (mutu) budaya rakyat asli. Akan tetapi semua itu tidak lepas dari kepentingan Jepang, karena disebutkan bahwa maksud dan tujuan utama dari badan ini, ialah menamakan dan menyebarkan Keimin Bunka Shidosho mempunyai bagian-bagian, antara lain bagian musik, bagian sandiwara, bagian seni-tari dan bagan seni lukis. Beberapa karya sastra yang mendukung politik Tiga A diantaranya : Tjinta Tanah Sutji karangan Nur Sutan Iskandar, Palawidja karangan Karim Halim;  Angin Fudji karangan Usmar Ismail, adalah karya sastra yang sejalan  dengan propaganda Jepang untuk menggelorakan semangat berjuang dan berkorban untuk kepentingan “Asia Timur Raya”.
Adapun karya sastra yang bertentangan dengan kepentingan Jepang tidak boleh diterbit dan beredar, bahkan kalau diketahui penciptanya ia harus berhadapan dengan Kempetai. Sebagai contoh adalah sajak Chairiul Anwar yang berjudul Siap Sedia yang menyebabkan pengarangnya harus berada dalam tahanan. Sajak yang berjudul Siap Sedia tersebut mengajak kawan-kawan untuk bangkit dengan kesadaran dan mengayunkan pedang untuk menuju dunia baru. Tentu saja yang dimaksudkan adalah semangat bangsa Indonesia, isinya antara lain ia berseru:
Kawan,kawan
Dan kita bangkit dengan kesadaran
Mencucuk dan menyerang berulang
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang
Dengan sajak itu pemerintah pendudukan Jepang menuduh pengarang menganjurkan pemberontakan terhadap Jepang. Gubahan-gubahan untuk senidrama, seperti, Usmar Ismail dalam drama “Api” dan Tjitra”, yang mengambil  tema kecintaan dan pengabdian kepada tanah air serta karya El Hakim (dr. Abu Hanifah) yang menciptakan “Taufan di Atas Asia”, “Intelek Istimewa”, “Dewi Rini” adalah pedang bermata dua yang penuh arti bagi bangsa Indonesia. Karena sensor yang ketat dari Jepang, maka pengarang-pengarang itu mencari kata-kata, susunan kalimat, sindiran yang samar-samar untuk menembus tembokdinding sensor.
Selama pendudukan Jepang, hanya sandiwara satu-satunya tontonan, karena film luar negeri dilarang oleh Jepang. Maka sandiwara diberi kesempatan dan mendapat fasilitas serta kebebasan bergerak relatif walaupun masih tetap dalam rangka propaganda Jepang. Sandiwara sekaligus berfungsi, baik sebagai penerangan maupun sebagai hiburan untuk rakyat, misalnya sandiwara “Bintang Surabaja”, “Tjahaja Tmur”, “Warnasari”, “Miss Tjitjih”, dan lain-lain. Sebelum Perang Pasifik, boleh dikatakan sandiwara hampir tidak ada. Banyak dari kalangan generasi muda menceburkan diri ke dunia sandiwara atau menjadi pengarang. Artis-artis Jepang juga ikut terjun seeperti yang dilakukan dengan Persatuan Artis Film Indonesia (Persafi). Hal itu turut mendorong artis-artis Indonesia profesional maupun amatir untuk memuli eksperimen dengan mementaskan lakon-lakon yang diterjemahkan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.
Sensor yang keras, sulitnya untuk mendapatkan kertas dan tidak adanya pers yang bebas, membuat kehidupan sastra hanya bergerak melalui saluransaluran resmi Jepang. Kondisi ini menyebabkan sulitnya kesempatan untuk menyiarkan atau mengeluarkan perasaan. Adalah salah kalau menganggap tidak ada nada patriotisme dalam karangan-karangan dan sajak-sajak, sekalipun harus disebutkan di dalam lingkungan “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” di belakang tiap perkataan “tanah air Indonesia”. Kelompok sastrawan memiliki kedudukan yang relatif baik, karena terdapat fasilitas bagi perkembangan sastra. Cabang-cabang seni seperti seni drama, seni film, seni-musik dan seni rupa menerim fasilitas yang sama. Kegiatan seni diatur dan diawasi oleh suatu badan yang dibentuk oleh penguasaan Jepang, karena dimasukkan sebagai bagian Propaganda guna menunjang “ Perang Asia Timur Raya”. Mengenai kegiatan seni-musik komponis Cornel Simanjuntak menciptakan antara lain lagunya “Tanah Tumpah Darahku” yang menggambarkan rasa cinta terhadap tanah air. Begitu juga dengan lagunya “Maju Putra- Putri Indonesia” yang membangunkan semangat-kesadaran bangsa Indonesia untuk membangun Jawa Baru, dalam rangka Asia Timur Raya. Beberapa pengarang yang lahir pada masa pemerintahan pendudukan Jepang misalnya M.S. Ashar, Usmar Isma’il, M.H. Lubis, Amal Hamzah, Nursyamsu, Anas Ma’ruf, Maria Amin, Rosihan Anwar, El Hakim dan lainlainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar