Rabu, 02 Maret 2011

Mancini: Saatnya Mengubah Nasib City

Pelatih Manchester City Roberto Mancini menyatakan, Maret akan menjadi 'bulan kunci' yang bakal menentukan nasib The Citizen dalam kompetisi Liga Primer Inggris 2010/11.

Menurut Mancini, dengan bekerja keras, City bisa mendapatkan sejumlah gelar untuk pertama kalinya dalam satu dekade. Terakhir kali City mencicipi gelar juara adalah ketika mengangkat trofi Piala Liga tahun 1976 usai mengalahkan Newcastle United 2-1 di final.

"Bulan ini akan menjadi bulan kunci bagi kami, karena bisa mengubah masa depan kami," ujar Mancini dilansir suratkabar Mirror.

Untuk saat ini, lanjut Mancini, City punya kesempatan besar untuk mencoba memenangi satu gelar. "Kami belum memenangi apapun saat ini, tapi pada Mei nanti, jika kami bisa melalui 20 hari di Piala FA dan Liga Europa, maka kami punya dua pilihan,"

Menurutnya, kegagalan City mendapatkan trofi sejak 35 tahun terakhir bukan menjadi penyebab motivasi. Motivasi City adalah mencoba memenangi trofi pertama, karena jika City juara, tentu juga akan akan memenangkan banyak trofi di masa mendatang.

"Saya baru satu tahun di sini, bukan masalah buat saya. Ketika saya menerima pekerjaan ini, saya sadar akan mengalami kesulitan. Bagi saya, ini adalah tantangan besar. Namun saya yakin kami akan memenangi salah satu trofi," tuturnya.

Komite Penyelamat Dukung Jenderal Toisutta


Pada saat pengurus PSSI telah memutuskan menunda kongres, sejumlah pemegang hak suara di Kongres PSSI menyatakan dukungan kepada George Toisutta dan Arifin Panigoro menjadi Ketua dan Wakil Ketua Umum PSSI. Mereka telah  menyampaikan keinginan tersebut kepada  Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng di Senayan, Jakarta, Selasa 1 Maret 2011.

Hal ini merupakan kelanjutan dari pertemuan 84 pemilik suara di Jakarta, kemarin. Hasil pertemuan itu juga mendeklarasikan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) yang mengklaim telah mendapatkan 84 suara untuk mendukung George Toisutta yang juga KSAD itu.

"Kami 84 anggota PSSI yang punya hak suara terdiri dari 26 pengurus cabang dan 58 klub PSSI memberikan dukungan kepada George Toisutta dan Arifin Panigoro menjadi Ketua dan Wakil Ketua PSSI periode 2011-2015," kata Wakil Ketua KPSI, Syahrial Damopoli.

Selain itu, KPSI juga memberikan empat pernyataan. Pertama, menolak kepemimpinan Nurdin Halid jadi Ketum PSSI. Kedua, KPSI memberi kewenangan untuk melaksanakan sidang paling lambat 60 hari setelah pertemuan.

Ketiga, memberi kewenangan kepada Menegpora untuk menindaklanjuti hasil sidang. Terakhir, mengharap agar Pemerintah tidak melepas PSSI.

Pertemuan ini dihadiri juga oleh beberapa perwakilan klub. Menpora pun menyambutnya dengan positif.
"Saya melihat ini sebagai proses demokratisasi yang berkembang," kata Menpora. "Tugas Pemerintah adalah membina dan mengurus. Sudah saatnya Pemerintah melakukan pembinaan dan pengurusan."
Langkah 84 pengurus PSSI daerah yang mendukung George Toisuta ditanggapi dingin pengurus PSSI.  Sekretaris Jenderal PSSI Nugraha Besoes menyatakan belum bisa banyak berkomentar.
Dia mengatakan PSSI harus terlebih dulu melihat surat pernyataan dari 83 pengurus tersebut. "Kami harus lihat dulu tentang mosi tidak percaya ini. Kami harus lihat dulu siapa yang tanda tangan," ujar Nugraha usai jumpa pers penundaan Kongres di kantor PT Liga Indonesia, Kuningan, Jakarta, Senin malam, 28 Februari 2011.
"Kami cek dulu apakah surat itu untuk PSSI atau bukan. Karena yang bisa menandatangani surat adalah Ketua Pengurus Provinsi dan Sekretaris Umum."
KPSI diketuai Sukawi J. Sutarip yang juga menjabat Ketua Pengurus Provinsi PSSI Jawa Tengah. Sedangkan wakilnya adalah Syahrial K. Damopolii yang merupakan Wakil Ketua Pengurus Provinsi PSSI Sulawesi Utara. (sj)

LPI Berharap Rekonsiliasi dengan PSSI

Di depan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Direktur Liga Primer Indonesia Wijayanto mengungkapkan keinginan mereka untuk rekonsiliasi dengan PSSI. Upaya pendekatan terus dilakukan.

"Kami masih terus mengupayakan (rekonsiliasi)," kata Wijayanto dalam rapat dengar pendapat dengan DPR di Jakarta, Selasa malam 1 Maret 2011.

Arya Abhiseka, General Manager Liga Primer Indonesia, menyatakan, fenomena yang dialami LPI ini bukan pertama kali terjadi di dunia. Fenomena sebuah kompetisi dianggap ilegal oleh federasi sepakbola ini pernah terjadi di India, Thailand, dan Kenya.

"(Di India dan Thailand) akhirnya terjadi rekonsiliasi antara liga yang mandiri dengan federasi," kata Arya.

Sementara di Kenya, fenomenanya, justru liga yang mandiri seperti LPI yang bertahan. Sementara itu, liga yang digelar federasi justru tidak berkembang.

"Mau tidak mau, kami mengambil ini sebagai inspirasi," kata Arya. "Memang pada akhirnya, hanya waktu yang bisa menjawab."

Dari awal, LPI dikonsep mandiri, tidak menggunakan dana publik. Potensi swasta pun cukup besar.

Wijayanto menjelaskan, sebuah survei melansir, potensi sebuah kompetisi sepakbola memutar uang sebesar Rp3,3 triliun. Dana itu diperoleh dari penonton, sponsor, dan hak siar. (art)

Diancam Dibunuh, Polisi Patroli Rumah Nurdin

 Kendati belum menerima laporan, Polda Metro Jaya mengaku siap mengamankan Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid yang mengaku telah menerima ancaman pembunuhan saat Rapat Dengar Pendapat di Komisi X DPR RI, Selasa 1 Maret 2011.

"Bagi semua orang yang terancam jiwanya, sudah menjadi tugas Polri untuk melakukan pengamanan. Bahkan, kami siap melakukan pengamanan personal jika memang dibutuhkan," ujar Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Sutarman, Rabu 2 Maret 2011.

Ia mengaku, pihaknya saat ini telah melakukan patroli di kediaman Nurdin Halid. Meskipun yang bersangkutan belum membuat melaporan ke aparat kepolisian terkait ancaman pembunuhan.

"Minimal kita sudah lakukan patroli di sekitar rumahnya," ujar mantan ajudan Presiden Abdulrahman Wahid ini.

Kapolda membantah jika pengamanan yang dilakukan terkait dengan kepentingan politik tertentu. Termasuk perseteruan Nurdin Halid yang menjabat sebagai Ketua Umum PSSI dengan pihak lain.

"Polisi fungsi dan tugasnya mengamankan, jika ada warga yang merasa dirinya terancam. Kalau ada masalah dengan PSSI, itu urus sendiri karena bukan urusan polisi," tegas dia.

Tentunya, aparat kepolisian akan menindak tegas jika ada yang melakukan penyerangan atau melanggar hukum. "Semua orang tidak boleh main hakim sendiri. Siapa pun orangnya dan dari mana kelompoknya pasti kita akan tindak," tutup Irjen Sutarman.

FIFA Rekomendasikan Nurdin Tak Maju Lagi?

Presiden FIFA Joseph 'Sepp' Blatter (BBC)
VIVAnews - Badan Sepakbola Dunia, FIFA,  Badan Sepakbola Dunia, FIFA, dikabarkan merekomendasikan Nurdin Halid untuk tidak mencalonkan diri lagi dalam pemilihan Ketua Umum PSSI periode mendatang. Rekomendasi ini dihasilkan dalam rapat Komite Asosiasi FIFA di Zurich, Swiss, pada Selasa kemarin, 1 Maret 2011, waktu setempat.

Demikian dikabarkan World Football Insider yang menyatakan mendapat informasi ini dari sebuah sumber yang dekat dengan Komite Asosiasi FIFA. Informasi ini dikonfirmasikan Duta Besar Indonesia untuk Swiss, Djoko Susilo.

Selain soal Nurdin, FIFA juga merekomendasikan PSSI untuk segera menggelar Kongres Luar Biasa dengan dua tahap. Tahap pertama, memilih komite pemilihan yang independen, yang bekerja berlandaskan statuta FIFA. Tahap kedua, di bulan berikutnya, barulah menggelar pemilihan Ketua Umum.

Meski demikian, juru Bicara FIFA yang dihubungiInsider masih menolak berkomentar mengenai isi rapat itu. Dia hanya menyatakan, rekomendasi itu harus disahkan terlebih dahulu oleh Komite Eksekutif FIFA yang baru akan bersidang Rabu dan Kamis besok, waktu setempat. Baru setelah itu, pada Kamis siang, akan digelar jumpa pers.

Sementara itu, PSSI menyatakan masih menunggu keputusan resmi FIFA tentang kemelut yang melanda persepakbolaan nasional belakangan ini. Anggota Komite Etik FIFA yang juga Deputi Sekjen Bidang Luar Negeri PSSI, Suryadharma “Dali” Tahir, mengutarakan hasil pertemuannya dengan Sekjen FIFA, Jerome Valcke. Dali menyebut kemungkinan besar PSSI dan juga Indonesia takkan terkena sanksi FIFA.

"Dalam pertemuan saya dengan Sekjen FIFA, Jerome Valcke, Senin sore lalu, masalah sanksi itu memang tidak disebut-sebut olehnya. Hal itu sekaligus membuktikan bahwa FIFA masih memberikan dukungannya kepada kita, sehingga masalah sanksi untuk kita tidak dibahas pada sidang Komite Asosiasi tersebut," kata Dali, Rabu pagi, 2 Maret 2011, seperti diberitakan  situs PSSI.

"Kami masih menunggu keputusan resmi dari FIFA," kata Sekjen PSSI, Nugraha Besoes. Dia mengatakan komite-komite tetap FIFA menggelar pertemuan pada pekan ini bertepatan dengan Rapat Komite Eksekutif FIFA pada 2-3 Maret di Zurich, Swiss. Rapat Exco FIFA dipimpin langsung Presiden Joseph 'Sepp' Blatter. (kd)

Lawan Liverpool, MU Temukan Pengganti Vidic

Bek tengah sekaligus kapten Manchester United, Nemanja Vidic dipastikan absen saat timnya melawan Liverpool di lanjutan Premier League, Sabtu 5 Maret 2011 nanti di Anfield.

Vidic mendapat skorsing satu laga setelah diusir wasit akibat menerima dua kartu kuning saat melawan Chelsea, dini hari tadi. Vidic mendapat kartu merah di injury time setelah mengganjal keras Ramires sedikit di luar kotak penalti. Pemain asal Serbia itu pun harus pasrah melihat kekalahan 1-2 MU dari Chelsea dari ruang ganti pemain.

Manajer MU, Sir Alex Ferguson sudah punya calon pengganti Vidic di jantung pertahanan. Sir Alex akan memasang Wes Brown yang menjadi pilihan utama mengingat tandem Vidic, Rio Ferdinand juga masih bermasalah dengan cedera.

"Saya rasa Rio tidak akan bugar untuk melawan Liverpool. Wes Brown akan mengambil alih. Dia punya banyak pengalaman," kata Fergie dikutip dari situs FIFA.

MU sebagai pemuncak klasemen sementara tidak boleh kalah lagi melawan The Reds. Sebab, kekalahan dari Chelsea akan membuat selisih poin menipis jika peringkat 2 Arsenal menang. Jika MU kalah dari Liverpool dan di saat bersamaan Arsenal yang meladeni Sunderland bisa menang, maka selisih menjadi hanya satu poin saja. (sj)

Disorientasi Penegakan Hukum


Wednesday, 15 September 2010Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum oleh Presiden SBY merupakan langkah berani dan sekaligus menyiratkan pengakuan keberadaan organisasi mafia hukum dalam praktik sistem peradilan pidana selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia.Mafia hukum di Indonesia identik dengan the web of the underworld government yang memiliki kekuatan destruktif terhadap ketahanan negara dan kewibawaan pemerintah, termasuk lembaga penegak hukumnya. Pertaruhan nasionalisme dan keteguhan dalam pemberantasan mafia hukum sedang dalam ujian di mata masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Namun, pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bukanlah solusi yang tepat untuk mencegah dan mengatasi keberadaan mafia hukum.Yang tepat seharusnya memperkuat keberadaan KPK serta koordinasi dan sinkronisasi antara KPK,Polri,dan Kejaksaan. 
Status hukum Satgas dan lembaga penegak hukum yang ada tidak sepadan sehingga tampak keberadaan satgas berada “di luar” sistem peradilan pidana. Misi Presiden untuk memberantas mafia sulit dapat dijalankan dengan status hukum Satgas seperti itu. Selain itu, Instruksi Presiden tentang target pencapaian dan indikator keberhasilan pemberantasan korupsi oleh Polri dan kejaksaan kurang tepat. Karena target pencapaian dan indikator keberhasilan tersebut sejatinya merupakan salah satu indikator penyediaan anggaran operasional kepolisian dan kejaksaan. Namun, dalam praktik, parameter (tolok ukur) keberhasilan tersebut dijadikan alasan Polri dan kejaksaan untuk tujuan pencapaian kuantitas daripada pencapaian kualitas penanganan perkara korupsi.Tujuan pencapaian terakhir conditio sine qua non dari tujuan pencapaian kuantitas.

ARAH

Saat ini, arah, tujuan dan misi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak jelas lagi. Hanya pertimbangan dua tujuan yang tidak seimbang juga karena pengembalian kerugian (keuangan) negara tidak berhasil secara signifikan dibandingkan dengan anggaran APBN yang telah dikeluarkan untuk ketiga lembaga penegak hukum tersebut. Di sisi lain,tujuan penghukuman untuk menjerakan pelaku juga tidak maksimal dicapai karena selain diskresi perlakuan yang diperbolehkan Undang-Undang Pemasyarakatan, juga diskresi menurut KUHAP sejak penyidikan sampai penuntutan. Ini berekses diskriminatif terutama bagi pelaku yang tidak memiliki kekuatan politik dan kekuatan uang.

Contoh, pemberian remisi dan bebas bersyarat; SP 3 dan SKPP. Perbedaan perlakuan tersebut telah berdampak negatif terhadap masalah perlindungan hukum dan kepastian hukum baik untuk kepentingan negara maupun untuk kepentingan mereka yang disebut “koruptor”. Wacana kebencian terhadap koruptor akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari norma-norma internasional yang diakui dalam pemberantasan korupsi seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 karena konvensi tersebut tidak menghubungkan pemberantasan korupsi dengan agama.Wacana tidak menyalatkan jenazah koruptor merupakan contoh daripada hal tersebut dan tidak pernah muncul di negara-negara Islam sekalipun.

Kekeliruan pandangan mengenai kepantasan hukuman mati bagi koruptor terletak bukan hanya karena hak hidup manusia adalah milik Allah SWT,melainkan bagaimana hak hidup seseorang dicabut di dalam praktik penegakan hukum yang kini terjadi secara koruptif. Dalam kondisi ini,perlu diingat pendapat para ahli hukum pidana negara maju, ”Lebih baik melepaskan 100 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”Kebenaran materiil dalam praktik koruptif penegakan hukum sangat tergantung dari pemilik kekuasaan belaka, bukan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.

DISORIENTASI

Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.

Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa.

Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja. Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.

Hal ini sebagaimana pernah dilontarkan oleh Widjojo Nitisastro yang mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang “pekerja intelek”,dia cuma “jual otaknya” dan tidak peduli untuk apa hasil otaknya itu dipakai”; sebaliknya, seorang “intelektual” mempunyai sikap jiwa yang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang pengkritik masyarakat... dia menjadi “hati nurani masyarakat” dan juru bicara kekuatan progresif; mau tidak mau dia dianggap “pengacau”dan menjengkelkan oleh kelas yang berkuasa yang mencoba mempertahankan yang ada.Pernyataan Widjojo cocok di era Reformasi saat ini. Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi.

Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).

Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, tidak mendahulukan tujuan balas dendam melainkan mendahulukan tujuan perkuatan pembangunan ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak terkandung maksud menciptakan golongan baru, “koruptor”, dalam masyarakat Indonesia.

Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalah pengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah wahana penebusan dosa. Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya, seharusnya dosa-dosanya terampuni .Tidak ada hak negara atau siapa pun untuk “memperpanjang” penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang telah dijatuhkan oleh putusan pengadilan.

Kezaliman dalam penegakan hukum harus segera dihentikan oleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini jika berniat menjadi bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa,memelihara dan mempertahankan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.(*)

Prof Romli Atmasasmita
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad)

Jalur sepeda di Bandung proyek gagal


BANDUNG (bisnisjabar.com): Ketua Komisi C DPRD Kota Bandung Entang Suryaman menilai jalur sepeda yang dibuat oleh pemerintah kota  sebagai sebuah proyek gagal.
Menurut dia, proyek yang menghabiskan dana  Rp 2,2 miliar dari APBD  Kota Bandung 2010 terkesan menghambur-hamburkan anggaran.
“Lihat saja cat [sebagai tanda] jalur sepeda,  sekarang sudah banyak yang hilang, penggunanya juga jarang. Malah pengendara motor yang menggunakan jalur ini,” katanya, hari ini.
Entang  mempertanyakan anggaran untuk jalur sepeda pada APBD 2011. Sebab, jika tidak dilanjutkan, maka proyek jalur sepeda ini menjadi mubazir.
Meski terdapat pemeliharaan jalur sepeda, seperti pengecatan ulang di sekitar Balai Kota, Entang mengemukakan, tidak ada pemeliharaan lanjutan pada jalur sepeda di titik-titik lain.
“Saya melihat tidak ada anggaran untuk jalur sepeda pada  tahun ini. Berarti tidak ada kelanjutannya. Mubazir dong, kalau begitu,” katanya. (asm)

Kasus susu bakteri, IPB (tidak) lempar batu sembunyi tangan


JAKARTA: Sri Estuningsih (Estu) awalnya berburu bakteri dalam susu formula untuk penelitian doktoral saat menempuh pendidikan bidang Mikrobiologi dan Patologi di Justus Liebig Universitat, Gieben, Jerman.
Penelitian yang awalnya mencari penyebab diare pada bayi, dengan fokus pada Salmonella, Shigella dan E. Coli sebagai bakteri penyebab diare, justru menemukan Enterobacter Sakazakii.
Enam tahun setelah penelitian dilaksanakan, Estu justru menghadapi tuntutan hukum. Adalah David Tobing, Pengacara Publik yang berturut-turut memenangkan tuntutan di level Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Isi tuntutan tersebut adalah agar Institut Pertanian Bogor (IPB), Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Bpom) mengumumkan merek susu yang terpapar Enterobacter Sakazakii sesuai penelitian Estu yang dilaksanakan mulai tahun 2003 itu.
Pasalnya, penelitian yang mulai dilakukan pada 2003 itu bukanlah penelitian survaillance, artinya peneliti tidak mendaftar seluruh merek susu yang beredar di pasaran, melainkan semata mencari bakteri yang terdapat pada susu.
Apabila merek susu diungkap, hal itu tentunya tidak adil dan diskriminatif karena sampel tidak mewakili seluruh jenis susu dan makanan bayi yang beredar dipasaran. Padahal E. Sakazaki adalah jenis bakteri yang dapat dijumpai di mana-mana, termasuk dalam usus manusia yang tidak sakit.
———
Penelitian yang awalnya dilakukan di Jerman tersebut sebenarnya menyoroti cemaran Salmonella, Shigella dan E. Coli berkaitan dengan diare pada bayi. Bukannya menemukan ketiga bakteri tersebut, Estu justru menemukan cemaran E. Sakazakii sebanyak 13,5%, atau ditemukan dalam 10 dari 74 sampel. Pada 2004 bakteri itu masih ditemukan dalam 3 sampel dari 46 sampel yang diteliti.
Penelitian yang sama pada 2006 justru menemukan kecenderungan yang lebih tinggi E. Sakazakii ditemukan dalam 22,73% sampel susu formula dan 40% sampel makanan bayi.
Dari hasil karakterisasi bahaya yang dilakukan dalam penelitian pada 2006, ditemukan bahwa E. Sakazakii dapat menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis. Karena dianggap berbahaya, pada 2006 hasil penelitian tersebut dilaporkan ke BPOM.
Penemuan itu menjadi pertimbangan bagi IPB untuk mengajukan ke BPOM agar Indonesia mengikuti aturan Codex Alimentarius Commission untuk membatasi kadar cemaran E. Sakazakii dalam susu formula, makanan bayi, serta barang konsumsi lain.
Selain itu pada saat itu pihak IPB berharap agar BPOM dapat melakukan penelitian yang lebih memadai, misalnya dengan metode survaillance agar dapat menyertakan keseluruhan merek susu formula dan makanan bayi yang beredar di pasaran.
Baru pada 2009 BPOM mengadopsi Codex yang mengatur cemaran E. Sakazaki. Bpom juga melakukan survaillance terhadap seluruh merek susu dan makanan bayi yang beredar di pasaran.
Survaillance terus berlanjut hingga saat ini, tetapi Bpom sudah tidak menemukan satu pun merek susu yang mengandung cemaran E. Sakazaki, paska adopsi Codex itu.
“BPOM adalah lembaga pengawas, kami tidak dapat melakukan pengawasan sebelum ada aturannya. Oleh karena itu Codex harus diadaptasi kemudian kami melakukan pengawasan terhadap susu yang beredar di pasaran mulai 2009, berdasarkan Codex” Jelas Kustantinah, Kepala BPOM.
Berdasarkan fungsi pengawasan itulah BPOM mengumumkan hasil penelitiannya terhadap berbagai susu yang ada di pasaran. Sejak 2009 hingga kini Bpom telah meneliti 117 jenis susu di pasaran Indonesia yang kesemuanya aman dari E. Sakazaki.
Harry Suhardiy 1322 anto, Rektor IPB mengatakan untuk mengumumkan jenis susu yang aman dan tidak aman demi memenuhi kepentingan publik merupakan kewenangan Bpom, apalagi Bpom telah melakukan penelitian paling baru dari segi waktu serta mencakup seluruh jenis susu formula dan makanan bayi yang ada.
Apabila IPB terpaksa mengumumkan merek susu dengan cemaran E. Sakazaki berdasar hasil penelitian Estu, hal tersebut akan menyalahi prinsip keadilan dalam penelitian karena sampel yang digunakan belum mencakup seluruh sampel yang beredar di pasaran.
Padahal sampel yang tidak diteliti belum tentu terbebas dari cemaran. Hal ini tentu tidak adil dan mendiskriminasi pihak tertentu karena tidak seluruh sampel yang ada diteliti.
Sementara itu,  kewajiban mempublikasikan isi penelitian sudah dilakukan IPB dan Estu melalui berbagai Jurnal Internasional. Hasil penelitian tersebut juga telah dipaparkan dalam pertemuan internasional tentang E. sakazakii yang diselenggarakan oleh WHO dan FAO di Roma, Italia pada 2006.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengungkapkan pihaknya tidak dapat memaksa IPB untuk mengumumkan merek susu karena IPB adalah lembaga independen yang tidak memiliki kewajiban melaporkan hasil penelitiannya.
Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional juga menghargai sikap IPB untuk tidak menyebutkan merek susu yang menjadi sampel penelitian karena telah diatur dalam kode etik internasional bahwa merek produk yang menjadi objek penelitian tidak disebutkan.
Selain itu dia juga menyatakan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan pada penyelenggara pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dilindungi oleh hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 UU No 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional.
———-
Di Luar persoalan hukum, probabilitas infeksi oleh E. Sakazaki sangatlah kecil, terhitung hanya ada 48 kasus bayi yang terinfeksi selama 42 tahun dalam kurun waktu 1961-2003. E. sakazaki juga hanya berbahaya bagi bayi di bawah usia 28 hari, bayi yang lahir dengan berat badan rendah, prematur, serta bayi dengan human immunodeficiency virus (HIV).
Oleh karena itulah bayi baru lahir hingga usia enam bulan sangat disarankan untuk mengonsumsi ASI eksklusif. Akan tetapi jika harus ditambahkan dengan susu formula penyajiannya harus dipastikan higienis karena pencemaran E. Sakazaki tidak hanya terjadi dari bahan baku maupun pasteurisasi susu, tetapi juga ketika pembukaan kemasan susu hingga susu disiapkan.
E. Sakazaki sebenarnya mudah dilumpuhkan. Bakteri tersebut akan mati dalam 15 detik jika berada pada suhu 70 derajat celcius atau lebih. Penyajian susu pun harus diperhatikan, misalnya susu yang sudah dingin lebih dari dua jam sangat riskan terkena bakteri.
Jika penyajian makanan bayi dilakukan dengan mengikuti peraturan yang ada, maka infeksi bakteri tidak mungkin terjadi. Namun demikian, masyarakat sudah terlanjur resah, kerugian juga bisa jadi akan dialami oleh industri susu nasional, sementara pemerintah tak kunjung memberikan penjelasan memadai.
Pihak pemerintah, dengan BPOM dan kementerian Kesehatan sebagai tergugat, seharusnya mengambil langkah untuk mulai mengedukasi masyarakat, alih-alih bersembunyi dan memojokan pihak tertentu di balik keputusan hukum.
Selain itu, jika dibiarkan berlarut, tuntutan hukum ini dapat memicu keresahan peneliti sehingga mereka enggan berkreasi dan berinovasi menghasilkan penelitian. Jika sudah begitu maka masyarakat juga yang dirugikan akibat kemandegan ilmu pengetahuan serta kesehatan di Indonesia.(hh)